'Ibu Pertiwi' kini sedang bersusah hati. Itulah ungkapan mungkin bisa menggambarkan perubahan lingkungan akibat cuaca ekstremyang sedang melanda bumi.
Tak hanya krisis lingkungan, cuaca panas yang terjadi di banyak negara juga dinilai berdampak buruk terhadap kualitas bahan pangan yang kita makan.
Intergovernmental Panel on Climate Change PBB menyebutkan dalam rilis, krisis iklim tak hanya memberi tantangan besar terhadap lingkungan, namun juga makanan, yang akhirnya ikut mempengaruhi kualitas kesehatan.
Cuaca yang panas, banyaknya banjir, salju ekstrim, kelembapan udara berlebih, sangat membatasi pertumbuhan tanaman. Akibatnya, tak hanya stok makanan yang menjadi terbatas, namun kandungan gizi juga berkurang jauh. Stok yang terbatas pun membuat harga makanan menjadi lebih tinggi.
Misalnya saja, gandum mengalami penurunan kandungan protein sekitar 6-13 persen, 4-7 persen lebih sedikit zinc, serta zat besi yang berkurang 5-8 persen.
Mengutip CNN, peneliti Deepak Ray juga mengamati produksi 10 tanaman global teratas, yakni barley, singkong, jagung, kelapa sawit, lobak, beras, sorgum, kedelai, tebu, dan gandum. Penelitian ini menemukan bahwa krisis iklim menyebabkan pengurangan 35 triliun kalori setiap tahunnya.
Selanjutnya penelitian itu mengungkap, gizi yang tidak cukup dari makanan dapat mengurangi fungsi dan kemampuan fisik manusia, yang meningkatkan risiko penyakit kronis serta kematian yang lebih cepat.
"Itu berarti kalori makanan untuk sekitar 50 juta orang hilang, itu sudah terjadi. Mungkin di masa depan kita akan melihat lebih banyak yang hilang, kecuali jika kita bersiap untuk itu dan mengurangi emisi karbon," kata peneliti Deepak Ray.
Negara-negara berpenghasilan tinggi dinilai dapat mengatasi masalah ini. Akan tetapi daerah-daerah seperti Afrika Sub-Sahara dan beberapa bagian Asia dan India akan semakin rentan.
"Ini masalah yang sangat sulit dan bagi banyak negara yang sudah tidak memiliki ketahanan pangan, kelaparan bisa menjadi masalah yang jauh lebih besar," ucap Ray.